Kok bisa begitu?
Salah satu penyebabnya adalah Krisis Subprime mortgage
Apa itu Subprime mortgage?
Subprime mortgage adalah paket kredit kepemilikan rumah yang ditujukan untuk orang-orang ‘miskin’ Amerika. Orang ‘miskin’ yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki rating kredit buruk – antara lain para penunggak tagihan kartu kredit dan tagihan kredit kendaraan bermotor. Bisa dikatakan subprime mortgage adalah KPR bagi wong cilik di Amerika.
Kita bicara hukum permintaan dan penawaran di sini. Orang-orang ‘miskin’ di Amerika sama halnya dengan orang kebanyakan, punya impian untuk memiliki rumah sendiri, sementara bank-bank konvensional yang ada, banyak yang takut melihat rekam jejak kredit mereka. Di lain sisi, perusahaan kredit perumahan (mortgage company), melihat mereka sebagai peluang bisnis yang perlu digarap. Akhirnya, perusahaan kredit perumahan tadi datang dengan segepok uang tunai, lalu lantas mengucurkan kredit rumah kepada mereka
Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan. Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.
Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turut terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor.
Penyebab Krisis Subprime mortgage itu sendiri apa dong?
Karena kreditor subprime mortgage adalah orang-orang pendapatannya pas-pasan maka kemampuan pembayaran cicilannya juga sangat lemah Sehingga saat para kreditor tersebut tidak mampu membayar cicilan kreditnya, maka EBA (Efek beragun aset) yang berasal dari subprime mortgage pun ambruk. Nilai jualnya jadi terkoreksi. Otomatis, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage juga ikutan merugi. Parahnya lagi, banyak perusahaan kredit perumahan yang juga bangkrut, karena tidak ada putaran uang yang terjadi dan diperparah adanya financing mismatch tadi.
Dampaknya?
Pasar sangat sensitif pada kabar buruk (bad news). berita terpuruknya subprime mortgage ini mulai terkuak di mana kerugiannya sendiri ditaksir ada sekitar $35 trilyun. Akibatnya, kepanikan pun mulai melanda para investor di lantai bursa New York. Investor yang panik, kemudian mulai berpikir untuk mencari alternatif alat investasi yang aman – antara lain via deposito di bank dan investasi di obligasi pemerintah. Gerak arus modal yang semakin borderless (cenderung menurun), membuat pasar keuangan dunia menjadi saling terkait dan saling berketergantungan satu sama lain. Sentimen negatif dan kepanikan dari Wall Street yang notabene merupakan pasar saham terbesar di dunia dengan cepatnya menjalar ke mana-mana. Investor-investor global raksasa yang tergabung dalam hedge fund ataupun investment bank baik yang secara kebetulan memiliki investasi di subprime mortgage atau tidak, mulai menarik dananya dari pasar modal dan mulai memasukkannya ke dalam investasi yang berisiko lebih rendah. Motifnya kurang lebih sama,, mencoba menghindari risiko kerugian yang lebih besar (cut loss). Maka, tak heran bursa-bursa saham regional dan dunia juga ikut bertumbangan.
Kerugian investasi berakibat pada seretnya dana cadangan bank-bank tersebut. Karena lalu lintas keuangan yang begitu cepat di bank, seretnya dana cadangan tersebut bisa berimbas kepada kesulitan likuaditas. Tak heran dalam beberapa hari terakhir Bank Sentral di Eropa, AS dan Australia sibuk mengucurkan kredit likuiditas untuk menopang lancarnya arus lalu lintas keuangan di kawasan mereka
Trs Dampaknya Di Indonesia?
Setelah sempat menembus ‘rekor’ tertinggi di angka 2300an, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), belakangan juga ikut ‘terkapar’ dihempas sentimen negatif pasar global. Saat ini (16/8) angka IHSG berada di bawah 2000. Hal ini menegaskan pendapat beberapa pengamat yang menyatakan bahwa ‘rekor’ IHGS disebabkan masuknya ‘uang panas’ dari luar negeri yang memiliki kecenderungan mengambil keuntungan jangka pendek belaka. Ini tak mengherankan karena para investor global tersebut mulai menyesuaikan komposisi investasinya demi menghindarkan kerugian yang lebih besar. Semoga saja faktor-faktor dalam negeri tetap stabil, sehingga gejolak pasar global tidak berimbas ke dalam negeri.
Gimana ya kelanjutannya….
Sumber informasi:
Detikfinance
Laporankhusus.com
Read More..